Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kecil sebelum tidur hampir setiap malam terdengar merdu gesekan biola mendayu-dayu mengiringi bait-bait syair lagu daerah Bima, yang didaerahku disebut ’rawa mbojo’. Aku dan adikku apabila satu malam tidak mendengar alunan lagu-lagu Bima itu pasti akan bertanya-tanya pada ibuku mengapa tidak ada orang yang nyanyi. Jawaban ibuku dari malam ke malam sama saja karena hari itu tidak ada keluarga yang menikah. Aku juga masih ingat benar tiap kali ada tetangga, bahkan tetangga desa yang sunatan anak kecil bersama teman-temanku, Yati, Anis, Ainun, Jumrah, Mifta dan Ayu sepulang sekolah rame-rame nonton atraksi ’gentao’ yaitu sebuah tarian tradisional yang diiringi dengan seperangkat musik tradisional. Aduh, indah luar biasa.
Masih juga segar dalam ingatanku ketika sesekali diajak ibu ke pasar yang paling menarik perhatianku adalah cara berpakaian ibu-ibu bahkan juga gadis-gadis Bima di pasar, termasuk ibuku waktu itu. Mereka mengenakan kain sarung yang dililitkan di kepala terus sampai kebawah menutupi seluruh badan. Aku paling suka memperhatikan aneka ragam warna-warni kain sarung yang dikenakan ibu-ibu itu. Pakaian seperti itu dinamakan ’rimpu’.
Tiga khasanah budaya, kekayaan budaya yang sepuluh tahun lalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima saat ini nyaris punah. Aku masih beruntung paling tidak dalam setahun sekali Pemerintah Daerah kabupaten Bima ’berbaik hati’ menyelenggarakan pawai budaya tahunan yang diantaranya menampilkan tiga kekayaan budaya tersebut. Atraksi ’gentao’, ’rawa mbojo’, dan ’rimpu’ saat ini menjadi hal yang langka, asing di tengah masyarakatnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi salah satu teman SMA-ku ketika melihat iring-iringan dalam pawai tersebut berkomentar: ”Nurul, Nurul lihat, asyik banget tuh… orang yang lagi menari, nyanyi, pake pakaian sarung, apa itu namanya Rul?”. Sambil tersayat perasaanku aku menerangkan pada temanku satu persatu item-item budaya tersebut.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ adalah simbol jati diri orang Bima. ’rawa mbojo’, lantunan syair-syair Bima yang dikemas dalam lagu yang diiringi biola adalah pentas seni yang unik. Si penyanyi bisa semalam suntuk melantunkan lagu-lagu. Demikian pula penonton semalam suntuk menikmati lantunan lagu-lagu tersebut. Bahkan penontonpun bisa turut serta menyanyi dan berbalas lagu dengan penyanyinya. Hal yang luar biasa disini dibutuhkan kemampuan berimprofisasi si penyanyi dalam menyusun lagu-lagunya. Selain ada lagu-lagu daerah yang baku, dalam pentas ’rawa mbojo’ lagu-lagu bisa berkembang sesuai dengan keadaan saat itu. Suasana, warna pakaian, dan lain-lain menjadi obyek improfisasi penyusunan bait-bait syair lagu. Pentas ’rawa mbojo’ menjadi sangat dinamis dan kreatif. Para penikmat ’rawa mbojo’ dapat hanyut dalam gelak tawa ataupun larut dalam kesedihan sesuai kemampuan improfisasi penyanyinya. Penggesek biola juga harus orang yang benar-benar piawai, karena dia harus mampu mengiringi apapun lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi dan juga mengikuti selera penonton.
Tari gentao yang dalam bahasa Bima ‘mpa’a gentao’, merupakan atraksi tari yang diiringi alunan gendang, terompet khas Bima yang terbuat dari daun lontar dan beberapa pengakat gamelan. Tarian ini aslinya ditampilkan mengirinngi acara sunatan. Tarian ‘gentao’ juga membutuhkan improfisasi oleh pengiring, khususnya penabuh gendang dan penari. Penari gentao ini boleh siapa saja khususnya penonton. Tarian ini merupakan simbol kejantanan, keperkasaan orang Bima. Para penari melakukan tarian dengan ‘bersparing’ satu-lawan satu. Penari harus mahir dalam seni bela diri, karena tariannya adalah menggambarkan pertarungan para kesatria Bima yang tersebar di seluruh pelosok Bima. Penonton, penari, penabuh gendang dan peniup terompet meskipun mereka mungkin tidak saling mengenal bisa hanyut dalam harmoni indahnya ‘mpa’a gentao’.
‘Rimpu’ pakaian khas tradisional Bima, hanya ada di Bima dan Dompu. Pakaian yang dikenakan berupa sarung yang ditenun oleh tangan-tangan terampil wanita Bima baik yang masih gadis maupun yang telah berumah tangga. Aslinya, para wanita bima menggunakan pakaian ini untuk ke pasar, acara keluarga, menjenguk keluarga yang berduka baik sakit maupun meninggal dunia dan kegiatan-kegiatan lainnya.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’, merupakan contoh kekayaan budaya. Didalamnya mengandung kearifan lokal yang sesungguhnya bagian dari kearifan Nasional yang apabila ditelaah lebih mendalam mengandung makna yang luar biasa sebagai cerminan dinamika masyarakat dalam upaya ‘survive’ mempertahankan dirinya dalam kancah kehidupan sebagai bagian dari sebuah bangsa. ‘Rawa Mbojo’ lagu Bima didalamnya mengandung petuah, nasehat bagaimana agar tercipta harmoni dalam kehidupan. Dalam pentas ‘rawa mbojo’ juga tercipta komunikasi spotan, tulus dan apa adanya antara penyanyi dan penonton yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu adanya komunikasi yang tulus, saling menghargai, demokratis.
‘Mpa’a gentao’ merupakan tarian bela diri masyarakat, mengajarkan kepada kita bahwa sebagai individu, masyarakat harus memiliki badan, jiwa yang sehat dan kuat yang setiap saat siap membela tanah air. Namun demikian kekuatan, tidak digunakan sembarangan melainkan sesuai kebutuhan. Maka dalam ’gentao’ penari boleh siapa saja, demikian pula lawan tanding tidak ditentukan. Satu hal yang perlu diperhatikan si penari bahwa dalam bertanding harus mengikuti iringan musik, gendang yang menyertainya dan tidak boleh mencederai lawan. Akhir dari ’gentao’ ini adalah terciptanya komunikasi yang harmonis antar warga, antar masyarakat.
Busana tradisional ’rimpu’ dimana wanita pemakainya melilitkan sarung Bima di kepala, dan menutup seluruh anggota badan kecuali muka sampai dibawah lutut mengajarkan kepada kita bahwa dalam berbusana harus mempertimbangkan norma khususnya norma agama, estetika dan etika. ’Rimpu’ juga mengajarkan bahwa kita harus mampu mandiri, menenun pakaiannya sendiri, mencintai dan bangga hasil karya sendiri. Artinya, para pendahulu kita telah mewariskan ’rimpu’ bukan sekedar sebagai busana tetapi juga jauh depan perlu memiliki produk unggulan lokal dalam hal ini adalah tenun ikat Bima.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ dari contoh tiga item khasanah budaya diatas terdapat satu kesamaan yakni didalamnya mengandung unsur inovasi, kreativitas. Memang benar bahwa ada lagu-lagu Bima yang sudah ’baku’, tetapi masyarakat, siapa saja boleh mengarang lagu sendiri dan mendendangkannya, bahkan spontan pada saat pentas berlangsung sesuai kondisi saat itu. Artinya agar budaya tersebut bisa lestari diberi ruang gerak yang luas untuk dikembangkan oleh masyarakat sesuai jamannya. ’Gentao’ juga telah memiliki gerakan standar tertentu yang khas Bima, akan tetapi setiap saat masyarakat boleh mengembangkan, berimprovisasi dengan ’cengkok’ masing-masing sesuai jamannya. Demikian pula tenun ikat tradisional Bima memberi peluang seluas-luasnya untuk dikembangkan tanpa harus meninggalkan ciri khasnya. Sehingga kain tenun Bima terus berkembang dan dalam periode tertentu mengalami dinamika, tren yang sangat dinamis.
Persoalannya adalah mutiara-mutiara khasanah budaya tersebut saat ini nyaris punah, terlantar dan terabaikan. ’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ yang sudah tidak lagi menjadi bagian sehari-hari masyarakat Bima, karena tergusur era globalisasi dengan ndangdut, sepak bola dan pakaian ketat. Acara-acara pernikahan sudah didominasi dengan hiburan orgen tunggal. Pakaian ’rimpu’ sudah langka dikenakan oleh remaja puteri kita. Kalau hal ini ’di-cuekin’ tidak ada yang peduli maka dikhawatirkan lima sampai sepuluh tahun kedepan generasi muda Bima harus ke Taman Mini Indonesia Indah anjungan NTB untuk dapat mengenal yang namanya ’rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’.
Mumpung belum benar-benar punah, sesungguhnya masih ada waktu untuk melestarikan budaya tersebut. Menurutku hal yang paling penting adalah perlunya menumbuhkan kesadaran kepada seluruh masyarakat akan arti pentingnya budaya lokal sebagai penopang budaya Nasional. Jalan yang dapat ditempuh untuk proses penyadaran tersebut tidak ada lain kecuali melalui jalur pendidikan. Pendidikan pelestarian budaya perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Sejak dini generasi muda perlu diperkenalkan dengan kearifan budaya termasuk budaya lokal, dilanjutkan terus sampai di perguruan tinggi secara terus menerus dan berkesinambungan. Tujuannya adalah agar nilai-nilai budaya tersebut secara harmonis terinternalisasi dalam diri siswa, menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pendidikan pelestarian budaya tidak hanya dalam bentuk teori semata-mata, yang lebih penting adalah praktek. Sehingga penilaiannya bukan dari hasil ulangan saja, tetapi dari sejauh mana siswa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Aku khawatir jangan-jangan ’proses punahnya kekayaan budaya’ yang terjadi di daerahku terjadi pula di daerah lain. Aku juga khawatir jangan-jangan merebaknya korupsi, perkelahian massal, anarkisme, ricuh yang sering dipertontonkan para anggota dewan itu juga karena telah tercerabutnya kita dari akar budaya serta nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kita secara kultural menjadi ’asing’ di negeri sendiri.
Sudah saatnya kita melakukan gerakan ’sadar budaya’, salah satunya melalui Pendidikan Pelestarian Budaya agar kita, generasi penerus bangsa menjadi generasi yang memiliki jati diri, mampu ’survive’ di tengah gelombang arus globalisasi. Generasi berkarakter seperti yang terkandung dalam ’rawa mbojo’ yakni arif bijaksana, santun, jujur, tulus, dinamis, kreatif, komunikatif. Begitu juga yang termuat dalam ’mpa’a gentao’ tari gentao: cerdas, terampil, kuat, tangguh, pantang menyerah, demokratis, lentur serta yang tersimpan dari pakaian ’rimpu’ mandiri, sopan, etis dan punya nilai estetika tinggi.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/04/alunan-gendang-yang-nyaris-hilang-potret-rapuhnya-pelestarian-budaya-daerah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar