Oleh : Achmanto Mendatu
Jika ditanya apa yang paling dinginkan dalam hidup ini, jawabannya pasti, kebahagiaan. Berasal dari manakah kebahagiaan? Tidak lain dari perasaan keadilan. Lalu dari manakah keadilan berasal? Ia bersumber dari penerimaan dan penghargaan dari orang lain, penerimaan serta penghargaan pada orang lain, dan penerimaan serta penghargaan pada diri sendiri. Seterusnya, berasal dari manakah penerimaan dan penghargaan? Tidak lain dari perasaan tulus bahwa semua orang sama dan berhak untuk berbahagia.
Meskipun kita yakin dan percaya berlaku adil merupakan kebajikan tertinggi, namun melaksanakannya tidak pernah mudah. Selalu lebih mudah untuk berlaku tidak adil. Wujud paling nyata dari ketidakadilan adalah perlakuan diskriminatif: terhadap apapun, terhadap siapapun. Ironisnya, diskrimasi sangat kerap kita lakukan, sadar ataupun tidak. Kita berlaku diskriminatif terhadap kelompok tertentu, pekerjaan tertentu, sekolah tertentu, budaya tertentu, orang dengan karakter dan atribut tertentu, dan sebagainya. Dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tertentu adalah yang paling tidak manusiawi. Ironis memang, justru inilah jenis diskriminasi yang paling diterima masyarakat.
Sejarah pernah mencatat, penderita lepra dikucilkan dan dijauhi masyarakat semata-mata karena menderita lepra. Bahkan kemudian dianggap pula sebagi kutukan Tuhan. Sekarang, penderita AIDS mengalami hal serupa. AIDS dianggap sebagai kutukan Tuhan. Tidak lain karena dianggap sebagai penyakit orang-orang kotor (baca: penganut freesex). Maka menjadi merasa absahlah kita mengutuk penderitanya karena menganggap mereka sebagai orang-orang kotor dan tercela. Maka kita mengucilkan, mencela, dan menjauhi mereka.
Tetapi siapakah yang sesungguhnya pantas dicela? Tuhan tidak pernah memberi kutukan pada manusia hidup. DIA terlalu asih untuk melakukannya. Tuhan juga tidak pernah bilang untuk tidak berlaku adil. Lalu kenapa kita memberlakukan ketidakadilan pada hamba-hamba Tuhan yang teraniaya? Penderita AIDS jelas-jelas teraniaya, sebab mereka menderita, tidak saja fisik tapi lebih-lebih mentalnya.
Tekanan mental yang mereka alami semakin bertambah karena perlakuan buruk kita. Kita mengucilkan, mencela, dan jangankan berbicara, memandangnya pun enggan. Kitalah yang pantas mendapat celaan, bahkan celaan Tuhan. Sebab kita tidak menerima dan menghargai mereka sebagaimana seharusnya, agar mereka bisa menerima dan menghargai diri mereka sendiri, yang pada akhirnya akan membuat mereka bahagia. Alih-alih membuat bahagia, kita malah membuat mereka tambah menderita, sebab tidak ada seorangpun yang suka dikucilkan atau dicela. Pengucilan atau pencelaan membuat orang merasa tidak berharga, padahal merasa diri cukup berharga merupakan dasar dalam kepercayaan diri sebagai landasan dalam menjalani hidup bahagia.
AIDS bukan kutukan. Ia hanya sebuah penyakit, yang bisa diderita siapapun, bahkan bayi yang baru terlahir, pun juga orang yang paling soleh sekalipun. Stigma buruk yang dilekatkan pada penyakit itu, yang membuat AIDS jadi tampak begitu mengerikan. Dan memang menjadi mengerikan melebihi keadaan objektif penyakit itu sendiri, bahwa AIDS tak tersembuhkan d sebagai kutukan Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Kengerian bersumber dari kondisi penyakit yang dinilai ganas itu, tapi terutama oleh perlakuan masyarakat yang tidak manusiawi terhadap penderitanya. Kengerian-kengerianlah yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi.Bagaimana stigma buruk terhadap AIDS terbentuk? Tidak lain karena kita tidak beroleh informasi yang benar dan cukup. Kecenderungan kita untuk lebih mudah menerima informasi yang buruk, ditambah info yang tidak lengkap cenderung memudahkan prasangka. Misalnya saja kita memperoleh info bahwa AIDS bersumber dari seks bebas. Siapapun tidak menyangkal ini. Lalu kita mengkategorikan semua penderitanya sebagai pelaku seks bebas. Maka dianggap sebagai kewajaran belaka mereka dicela. Dari prasangka muncullah stigma, yang berujung pada terbentuknya perilaku negatif terhadap penderita AIDS. Apalagi setiap orang juga cenderung untuk lebih cepat mengakui informasi yang sesuai dengan skema kognitif yang telah ada. Jika skema pikiran telah negatif (yang terbentuk karena prasangka) pada penderita AIDS, maka orang akan cenderung untuk lebih menerima informasi yang negatif daripada yang positif. Misalnya, jika sejak awal telah berpikir buruk, maka ketika ada info penderita AIDS pembawa sial, itu lebih diterima ketimbang info tentang penemuan obatnya.
Barangkali yang paling ditakutkan adalah AIDS bisa menular dengan sangat mudah melalui perantara apapun, dan obat belum lagi tersedia. Benarkah? Nyatanya AIDS tidak mudah ditularkan. Ia hanya bisa ditularkan melalui cairan darah, hubungan seksual, dan barangkali kelenjar ludah, atau yang notabene cairan dari dalam tubuh (tidak termasuk keringat tentunya). Jadi, sangat tidak beralasan untuk mengucilkan penderita AIDS. Sampai-sampai berjabat tangan pun enggan, bahkan mengusir mereka para penderita dari lingkungan tempat tinggal. Tidak ada satupun penjelasan ilmiah yang bisa membenarkan pengucilan terhadap mereka. Kita yang mengaku manusia modern yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keilmiahan dibalik segala sesuatu, sudah semestinya menentang pengucilan itu. Sebab pengucilan tidak memiliki dasar ilmiah apapun.
Penderita AIDS umumnya mengalami depresi, dimana perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna, bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Ini akibat dari stigmasisasi masyarakat terhadap AIDS. Penolakan dan pengabaian orang lain, terutama keluarga akan menambah depresi yang diderita. Penderita AIDS yang mengalami kemunduran fisik secara bertahap, semestinya harus didorong untuk tetap bersemangat dan optimis dalam menjalani kehidupan. Mereka yang telah kehilangan kesehatan, ibarat orang telah kehilangan hartanya yang paling berharga. Jadi, dukungan penuh dari lingkungan akan sangat membantu penderita untuk menjalani kehidupan yang menyenangkan. Tapi alih-alih mendukung, perilaku kita malahan diskriminatif; menekan mereka. Sungguh benar-benar tidak manusiawi, orang yang tertimpa kesusahan diperberat kesusahannya oleh perlakuan kita yang mendiskreditkan.
Sangat banyak kasus, setelah diketahui HIV positif, penderita diberhentikan dari pekerjaan, dijauhi dalam pergaulan dan malahan juga keluarga, tidak diterima di tempat-tempat publik, ditangkap seperti napi untuk diamankan, dan bahkan dibunuh sebab dianggap sebagai pencemar masyarakat. Maka, dapat diterimalah banyak penderita tidak mau mengungkapkan keadaan mereka yang sebenarnya karena takut kehilangan lahan penghidupan karena tidak ada jaminan sosial jika berhenti kerja, dan lebih-lebih takut lagi tidak diterima masyarakat, yang akan sama berarti dengan kehilangan sifat manusianya sebagai mahluk sosial. Pengumuman kepada publik sama dengan bunuh diri secara sosial. Bahkan benar-benar bunuh diri yang sesungguhnya (baca:menyediakan diri untuk dibunuh) seperti di beberapa tempat di afrika. Bilamana diketahui ada penderita , maka penderita itu akan dirajam sampai mati.
Ketidakadilan masyarakat yang menyebabkan kekejaman itu.. Andai saja penderita AIDS diterima dan dihargai, serta diperlakukan sebagai manusia selayaknya, tentu penyebaran AIDS dapat ditekan. Sebab penderita bisa sukarela mengungkapkan diri kepada publik sehingga penanganan yang tepat bisa dilakukan. Kalau profesi penderita berpotensi menularkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain (ex: pelacur), maka itu dapat dihindarkan jika penderita berhenti berprofesi. Hal ini akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas. Masalahnya, tidak ada jaminan sosial jika mereka berhenti kerja, dan terlebih mereka akan ditolak masyarakat bila mengumumkan penderitaan mereka.
Hakekat keadilan adalah keadilan sosial. Keadilan tidak dapat di formulasikan tanpa ada konteks sosialnya. Kita tidak bisa menganggap diri adil tanpa melihat perbandingannya dengan orang lain, dan apa yang diperbuat serta akibat yang kita perbuat pada orang lain. Salah satu bentuk keadilan adalah keadilan distributif, dimana salah satu prinsipnya adalah menggunakan prinsip karikatif, yaitu santunan kepada orang yang tidak dapat berusaha, dan secara potensial kurang dapat berusaha guna mendapatkan hasil bagi kehidupan yang layak. Termasuk didalamnya anak yatim, orang cacat, lansia, orang sakit (penderita AIDS salah satunya) dan lainnya yang sejenis. Bantuan tidak sekedar bermakna memberi untuk mencukupi pihak yang menerima, tetapi juga perhatian dan kepercayaan dari pihak lain. Disinilah jelas kiranya, penderita AIDS selayaknya untuk diperhatikan dan dipercayai sebagai manusia adanya. Pemenuhan bantuan tidak cuma soal jaminan sosial, tapi mutlak perlu pemenuhan kebutuhan psikologisnya.
Keadilan interaksional adalah jenis keadilan yang lain. Aspeknya yang penting adalah penghargaan dan kepercayaan. Sikap dan perilaku memaki, mencela, diskriminatif, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam dan membohongi adalah hal-hal yang berlawanan dengan penghargaan. Salah satu bagian kepercayaan adalah kepedulian. Hal itu bisa ditunjukkan dengan perhatian dan empati pada penderita AIDS. Akhirnya, sudahkah kita berlaku adil?
Kita bisa memulainya dengan bersikap adil pada diri kita sendiri dengan meyakini bahwa setiap orang berhak berbahagia. Dari sana akan tumbuh penerimaan dan penghargaan terhadap setiap orang, yang akhirnya bisa membahagiakan siapapun termasuk penderita AIDS. Dan untuk sampai ke sana, informasi yang utuh dan lengkap tentang AIDS menjadi mutlak, agar tidak mudah berprasangka. Sebab prasangka tumbuh dari kurangnya informasi yang akhirnya menimbulkan stigma. Selanjutnya tentu agar kita tidak diskriminatif dan menerima mereka dengan tulus.
Jika kita adalah orang yang perduli dengan sesama, kepedulian kita pada penderita AIDS adalah salah satu yang terluhur sebab mereka adalah orang-orang yang teraniaya. Langkah terbaik yang pertama-tama sebagai wujud kepedulian kita adalah mencari informasi mengenai AIDS secara utuh dan benar. Kemudian ketika ada penderita disekitar kita, berlaku tidak diskriminatif atau berkeadilan menjadi wajib dilakukan. Tidak saja demi penderita itu sendiri, tapi juga demi diri kita sendiri dalam mencapai sifat adil sebagai jalan mencapai manusia sejati. Adalah muskil keadilan bisa tercapai seperti yang diidamkan setiap orang bila masih ada diskriminasi: terhadap apapun terhadap siapapun.
sumber :http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/diskriminasi-penderita-aids.html
Rabu, 01 Desember 2010
Keutamaan Subuh
Oleh : Muhammad Jihad Akbar
Shalat Subuh merupakan satu di antara shalat wajib lima waktu yang mempunyai kekhususan dari shalat lainnya dan mempunyai keutamaan yang luar biasa. Pada saat inilah pergantian malam dan siang dimulai. Pada saat ini pula malaikat malam dan siang berganti tugas (HR Al-Bukhari).
Karenanya, beruntunglah mereka yang dapat melaksanakan shalat Subuh pada awal waktu sebab disaksikan oleh malaikat, baik malaikat yang bertugas pada malam hari maupun siang. Allah SWT berfirman: ”Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).” (QS Al-Isra’ [17]: 78).
Selain itu, shalat Subuh juga bisa menjadi penerang pada hari ketika semua orang berada dalam kekalutan (kiamat). Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, ”Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan menuju masjid (untuk mengerjakan shalat Subuh) dengan cahaya yang terang benderang (pertolongan) pada hari kiamat.” (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Majah).
Tak hanya itu, Allah pun telah menyiapkan pahala yang luar biasa bagi mereka yang membiasakan shalat Subuh tepat pada waktunya, yaitu mendapatkan pahala sebanding dengan melakukan shalat semalam suntuk. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, ”Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat semalam suntuk.” (HR Bukhari).
Di antara hikmah dan alasannya adalah karena shalat Subuh merupakan shalat wajib yang paling ”sulit” dikerjakan pada awal waktu. Banyak di antara kita lebih memilih untuk tidur di atas kasur empuk dan selimut yang hangat. Padahal, seruan Allah (adzan) pada waktu Subuh telah memberitahukan kita bahwa shalat itu lebih baik daripada tidur.
Secara ilmiah, benar adanya bahwa bangun pagi dan melakukan shalat lebih baik daripada terus tidur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis J Ignarro dan Ferid Murad, pembuluh darah manusia akan mengembang pada tengah malam terakhir sampai menjelang siang. Kemudian secara berangsur-angsur sekumpulan sel darah akan menggumpal pada dinding pembuluh sehingga terjadi penyempitan. Inilah yang mengakibatkan tekanan darah tinggi.
Menurut peraih Nobel bidang Fisiologi dan Kedokteran tahun 1998 ini, ada cara alamiah yang bisa dilakukan oleh setiap orang, yaitu menggerakkan tubuh sejak pagi buta. Karena, penelitian mereka menunjukkan bahwa dengan menggerak-gerakkan tubuh, gumpalan sel tadi akan melebur bersama aliran darah yang terpompa dengan kencang pada saat bergerak.
Maka, beruntunglah mereka yang terbiasa menggerakkan tubuh pada waktu Subuh dengan bangun tidur lalu berwudhu kemudian berjalan menuju masjid guna shalat Subuh berjamaah
sumber : http://dahlanforum.wordpress.com/category/ekonomi/page/tag/tag/pengetahuan/page/11/
Shalat Subuh merupakan satu di antara shalat wajib lima waktu yang mempunyai kekhususan dari shalat lainnya dan mempunyai keutamaan yang luar biasa. Pada saat inilah pergantian malam dan siang dimulai. Pada saat ini pula malaikat malam dan siang berganti tugas (HR Al-Bukhari).
Karenanya, beruntunglah mereka yang dapat melaksanakan shalat Subuh pada awal waktu sebab disaksikan oleh malaikat, baik malaikat yang bertugas pada malam hari maupun siang. Allah SWT berfirman: ”Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).” (QS Al-Isra’ [17]: 78).
Selain itu, shalat Subuh juga bisa menjadi penerang pada hari ketika semua orang berada dalam kekalutan (kiamat). Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, ”Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan menuju masjid (untuk mengerjakan shalat Subuh) dengan cahaya yang terang benderang (pertolongan) pada hari kiamat.” (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Majah).
Tak hanya itu, Allah pun telah menyiapkan pahala yang luar biasa bagi mereka yang membiasakan shalat Subuh tepat pada waktunya, yaitu mendapatkan pahala sebanding dengan melakukan shalat semalam suntuk. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, ”Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat semalam suntuk.” (HR Bukhari).
Di antara hikmah dan alasannya adalah karena shalat Subuh merupakan shalat wajib yang paling ”sulit” dikerjakan pada awal waktu. Banyak di antara kita lebih memilih untuk tidur di atas kasur empuk dan selimut yang hangat. Padahal, seruan Allah (adzan) pada waktu Subuh telah memberitahukan kita bahwa shalat itu lebih baik daripada tidur.
Secara ilmiah, benar adanya bahwa bangun pagi dan melakukan shalat lebih baik daripada terus tidur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis J Ignarro dan Ferid Murad, pembuluh darah manusia akan mengembang pada tengah malam terakhir sampai menjelang siang. Kemudian secara berangsur-angsur sekumpulan sel darah akan menggumpal pada dinding pembuluh sehingga terjadi penyempitan. Inilah yang mengakibatkan tekanan darah tinggi.
Menurut peraih Nobel bidang Fisiologi dan Kedokteran tahun 1998 ini, ada cara alamiah yang bisa dilakukan oleh setiap orang, yaitu menggerakkan tubuh sejak pagi buta. Karena, penelitian mereka menunjukkan bahwa dengan menggerak-gerakkan tubuh, gumpalan sel tadi akan melebur bersama aliran darah yang terpompa dengan kencang pada saat bergerak.
Maka, beruntunglah mereka yang terbiasa menggerakkan tubuh pada waktu Subuh dengan bangun tidur lalu berwudhu kemudian berjalan menuju masjid guna shalat Subuh berjamaah
sumber : http://dahlanforum.wordpress.com/category/ekonomi/page/tag/tag/pengetahuan/page/11/
Air Mataku Bukan Untuk Negeriku
air mataku bukan untuk negeriku
tetapi buat bapak si pedagang kerang
yang berjalan tanpa alas kaki
membiarkan telapaknya tertikam kerikil
merelakan kulitnya tersengat mentari
aku menangis untuk telapak kasarnya
karena di sana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
aku bersedih untuk pakaian usangnya
karena dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin memberi makan rayap
aku berduka untuk kerut wajahnya dan bau keringatnya
karena dalam istana negeriku
aroma farmum,saling bersilang
perang merek sudah biasa
berbagai kosmetik dilelang
bau keringat jadi kasturi
air mataku bukan untuk negeriku
monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan burung gagak
meski kini usianya beranjak menua
negeriku juga semakin tergadai
ia menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis
berbagai musibah yang melanda
bukannya mengikutkan istiqfar
tetapi menjanjikan lahan investasi
air mataku bukan untuk negeriku
meski kutahu ia sekarang diuji
sebab air mataku telah terkuras
memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
air mataku sudah mengering
untuk saudaraku di Papua
busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas
sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
sekali lagi bukan untuk negeriku!
tetapi akan kutampung
untuk memberi minum adik-adik kecilku
diperempatan jalan
yang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan
sebagiannya, akan kugunakan membersihkan
tubuh saudaraku yang terguyur lumpur panas
oleh mesin-mesin pemaksa alamku
melahirkan semburan uang
tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
tetapi janji tak kunjung tiba
di hari lahirmu ini
ingin rasanya menciumi telapak nakhodanya
tetapi aku kembali enggan
karena telapaknya begitu halus dan kukunya licin
sentara si bapak penjual kerang
telapaknya mengelupas, kasar!kukunya hitam
setiap hari berjalan puluhan kilo
bersama gerobak dan seember kerang
namun nuraniku berbisik
ciumlah tetapak itu dan menangislah untuknya!
pondok biru, kamis (17 Agustus 2006)
sumber : pujanggapinggiran.blogspot.com
tetapi buat bapak si pedagang kerang
yang berjalan tanpa alas kaki
membiarkan telapaknya tertikam kerikil
merelakan kulitnya tersengat mentari
aku menangis untuk telapak kasarnya
karena di sana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
aku bersedih untuk pakaian usangnya
karena dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin memberi makan rayap
aku berduka untuk kerut wajahnya dan bau keringatnya
karena dalam istana negeriku
aroma farmum,saling bersilang
perang merek sudah biasa
berbagai kosmetik dilelang
bau keringat jadi kasturi
air mataku bukan untuk negeriku
monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan burung gagak
meski kini usianya beranjak menua
negeriku juga semakin tergadai
ia menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis
berbagai musibah yang melanda
bukannya mengikutkan istiqfar
tetapi menjanjikan lahan investasi
air mataku bukan untuk negeriku
meski kutahu ia sekarang diuji
sebab air mataku telah terkuras
memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
air mataku sudah mengering
untuk saudaraku di Papua
busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas
sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
sekali lagi bukan untuk negeriku!
tetapi akan kutampung
untuk memberi minum adik-adik kecilku
diperempatan jalan
yang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan
sebagiannya, akan kugunakan membersihkan
tubuh saudaraku yang terguyur lumpur panas
oleh mesin-mesin pemaksa alamku
melahirkan semburan uang
tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
tetapi janji tak kunjung tiba
di hari lahirmu ini
ingin rasanya menciumi telapak nakhodanya
tetapi aku kembali enggan
karena telapaknya begitu halus dan kukunya licin
sentara si bapak penjual kerang
telapaknya mengelupas, kasar!kukunya hitam
setiap hari berjalan puluhan kilo
bersama gerobak dan seember kerang
namun nuraniku berbisik
ciumlah tetapak itu dan menangislah untuknya!
pondok biru, kamis (17 Agustus 2006)
sumber : pujanggapinggiran.blogspot.com
Alunan Gendang yang Nyaris Hilang, Potret Rapuhnya Pelestarian Budaya Daerah
Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kecil sebelum tidur hampir setiap malam terdengar merdu gesekan biola mendayu-dayu mengiringi bait-bait syair lagu daerah Bima, yang didaerahku disebut ’rawa mbojo’. Aku dan adikku apabila satu malam tidak mendengar alunan lagu-lagu Bima itu pasti akan bertanya-tanya pada ibuku mengapa tidak ada orang yang nyanyi. Jawaban ibuku dari malam ke malam sama saja karena hari itu tidak ada keluarga yang menikah. Aku juga masih ingat benar tiap kali ada tetangga, bahkan tetangga desa yang sunatan anak kecil bersama teman-temanku, Yati, Anis, Ainun, Jumrah, Mifta dan Ayu sepulang sekolah rame-rame nonton atraksi ’gentao’ yaitu sebuah tarian tradisional yang diiringi dengan seperangkat musik tradisional. Aduh, indah luar biasa.
Masih juga segar dalam ingatanku ketika sesekali diajak ibu ke pasar yang paling menarik perhatianku adalah cara berpakaian ibu-ibu bahkan juga gadis-gadis Bima di pasar, termasuk ibuku waktu itu. Mereka mengenakan kain sarung yang dililitkan di kepala terus sampai kebawah menutupi seluruh badan. Aku paling suka memperhatikan aneka ragam warna-warni kain sarung yang dikenakan ibu-ibu itu. Pakaian seperti itu dinamakan ’rimpu’.
Tiga khasanah budaya, kekayaan budaya yang sepuluh tahun lalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima saat ini nyaris punah. Aku masih beruntung paling tidak dalam setahun sekali Pemerintah Daerah kabupaten Bima ’berbaik hati’ menyelenggarakan pawai budaya tahunan yang diantaranya menampilkan tiga kekayaan budaya tersebut. Atraksi ’gentao’, ’rawa mbojo’, dan ’rimpu’ saat ini menjadi hal yang langka, asing di tengah masyarakatnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi salah satu teman SMA-ku ketika melihat iring-iringan dalam pawai tersebut berkomentar: ”Nurul, Nurul lihat, asyik banget tuh… orang yang lagi menari, nyanyi, pake pakaian sarung, apa itu namanya Rul?”. Sambil tersayat perasaanku aku menerangkan pada temanku satu persatu item-item budaya tersebut.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ adalah simbol jati diri orang Bima. ’rawa mbojo’, lantunan syair-syair Bima yang dikemas dalam lagu yang diiringi biola adalah pentas seni yang unik. Si penyanyi bisa semalam suntuk melantunkan lagu-lagu. Demikian pula penonton semalam suntuk menikmati lantunan lagu-lagu tersebut. Bahkan penontonpun bisa turut serta menyanyi dan berbalas lagu dengan penyanyinya. Hal yang luar biasa disini dibutuhkan kemampuan berimprofisasi si penyanyi dalam menyusun lagu-lagunya. Selain ada lagu-lagu daerah yang baku, dalam pentas ’rawa mbojo’ lagu-lagu bisa berkembang sesuai dengan keadaan saat itu. Suasana, warna pakaian, dan lain-lain menjadi obyek improfisasi penyusunan bait-bait syair lagu. Pentas ’rawa mbojo’ menjadi sangat dinamis dan kreatif. Para penikmat ’rawa mbojo’ dapat hanyut dalam gelak tawa ataupun larut dalam kesedihan sesuai kemampuan improfisasi penyanyinya. Penggesek biola juga harus orang yang benar-benar piawai, karena dia harus mampu mengiringi apapun lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi dan juga mengikuti selera penonton.
Tari gentao yang dalam bahasa Bima ‘mpa’a gentao’, merupakan atraksi tari yang diiringi alunan gendang, terompet khas Bima yang terbuat dari daun lontar dan beberapa pengakat gamelan. Tarian ini aslinya ditampilkan mengirinngi acara sunatan. Tarian ‘gentao’ juga membutuhkan improfisasi oleh pengiring, khususnya penabuh gendang dan penari. Penari gentao ini boleh siapa saja khususnya penonton. Tarian ini merupakan simbol kejantanan, keperkasaan orang Bima. Para penari melakukan tarian dengan ‘bersparing’ satu-lawan satu. Penari harus mahir dalam seni bela diri, karena tariannya adalah menggambarkan pertarungan para kesatria Bima yang tersebar di seluruh pelosok Bima. Penonton, penari, penabuh gendang dan peniup terompet meskipun mereka mungkin tidak saling mengenal bisa hanyut dalam harmoni indahnya ‘mpa’a gentao’.
‘Rimpu’ pakaian khas tradisional Bima, hanya ada di Bima dan Dompu. Pakaian yang dikenakan berupa sarung yang ditenun oleh tangan-tangan terampil wanita Bima baik yang masih gadis maupun yang telah berumah tangga. Aslinya, para wanita bima menggunakan pakaian ini untuk ke pasar, acara keluarga, menjenguk keluarga yang berduka baik sakit maupun meninggal dunia dan kegiatan-kegiatan lainnya.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’, merupakan contoh kekayaan budaya. Didalamnya mengandung kearifan lokal yang sesungguhnya bagian dari kearifan Nasional yang apabila ditelaah lebih mendalam mengandung makna yang luar biasa sebagai cerminan dinamika masyarakat dalam upaya ‘survive’ mempertahankan dirinya dalam kancah kehidupan sebagai bagian dari sebuah bangsa. ‘Rawa Mbojo’ lagu Bima didalamnya mengandung petuah, nasehat bagaimana agar tercipta harmoni dalam kehidupan. Dalam pentas ‘rawa mbojo’ juga tercipta komunikasi spotan, tulus dan apa adanya antara penyanyi dan penonton yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu adanya komunikasi yang tulus, saling menghargai, demokratis.
‘Mpa’a gentao’ merupakan tarian bela diri masyarakat, mengajarkan kepada kita bahwa sebagai individu, masyarakat harus memiliki badan, jiwa yang sehat dan kuat yang setiap saat siap membela tanah air. Namun demikian kekuatan, tidak digunakan sembarangan melainkan sesuai kebutuhan. Maka dalam ’gentao’ penari boleh siapa saja, demikian pula lawan tanding tidak ditentukan. Satu hal yang perlu diperhatikan si penari bahwa dalam bertanding harus mengikuti iringan musik, gendang yang menyertainya dan tidak boleh mencederai lawan. Akhir dari ’gentao’ ini adalah terciptanya komunikasi yang harmonis antar warga, antar masyarakat.
Busana tradisional ’rimpu’ dimana wanita pemakainya melilitkan sarung Bima di kepala, dan menutup seluruh anggota badan kecuali muka sampai dibawah lutut mengajarkan kepada kita bahwa dalam berbusana harus mempertimbangkan norma khususnya norma agama, estetika dan etika. ’Rimpu’ juga mengajarkan bahwa kita harus mampu mandiri, menenun pakaiannya sendiri, mencintai dan bangga hasil karya sendiri. Artinya, para pendahulu kita telah mewariskan ’rimpu’ bukan sekedar sebagai busana tetapi juga jauh depan perlu memiliki produk unggulan lokal dalam hal ini adalah tenun ikat Bima.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ dari contoh tiga item khasanah budaya diatas terdapat satu kesamaan yakni didalamnya mengandung unsur inovasi, kreativitas. Memang benar bahwa ada lagu-lagu Bima yang sudah ’baku’, tetapi masyarakat, siapa saja boleh mengarang lagu sendiri dan mendendangkannya, bahkan spontan pada saat pentas berlangsung sesuai kondisi saat itu. Artinya agar budaya tersebut bisa lestari diberi ruang gerak yang luas untuk dikembangkan oleh masyarakat sesuai jamannya. ’Gentao’ juga telah memiliki gerakan standar tertentu yang khas Bima, akan tetapi setiap saat masyarakat boleh mengembangkan, berimprovisasi dengan ’cengkok’ masing-masing sesuai jamannya. Demikian pula tenun ikat tradisional Bima memberi peluang seluas-luasnya untuk dikembangkan tanpa harus meninggalkan ciri khasnya. Sehingga kain tenun Bima terus berkembang dan dalam periode tertentu mengalami dinamika, tren yang sangat dinamis.
Persoalannya adalah mutiara-mutiara khasanah budaya tersebut saat ini nyaris punah, terlantar dan terabaikan. ’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ yang sudah tidak lagi menjadi bagian sehari-hari masyarakat Bima, karena tergusur era globalisasi dengan ndangdut, sepak bola dan pakaian ketat. Acara-acara pernikahan sudah didominasi dengan hiburan orgen tunggal. Pakaian ’rimpu’ sudah langka dikenakan oleh remaja puteri kita. Kalau hal ini ’di-cuekin’ tidak ada yang peduli maka dikhawatirkan lima sampai sepuluh tahun kedepan generasi muda Bima harus ke Taman Mini Indonesia Indah anjungan NTB untuk dapat mengenal yang namanya ’rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’.
Mumpung belum benar-benar punah, sesungguhnya masih ada waktu untuk melestarikan budaya tersebut. Menurutku hal yang paling penting adalah perlunya menumbuhkan kesadaran kepada seluruh masyarakat akan arti pentingnya budaya lokal sebagai penopang budaya Nasional. Jalan yang dapat ditempuh untuk proses penyadaran tersebut tidak ada lain kecuali melalui jalur pendidikan. Pendidikan pelestarian budaya perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Sejak dini generasi muda perlu diperkenalkan dengan kearifan budaya termasuk budaya lokal, dilanjutkan terus sampai di perguruan tinggi secara terus menerus dan berkesinambungan. Tujuannya adalah agar nilai-nilai budaya tersebut secara harmonis terinternalisasi dalam diri siswa, menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pendidikan pelestarian budaya tidak hanya dalam bentuk teori semata-mata, yang lebih penting adalah praktek. Sehingga penilaiannya bukan dari hasil ulangan saja, tetapi dari sejauh mana siswa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Aku khawatir jangan-jangan ’proses punahnya kekayaan budaya’ yang terjadi di daerahku terjadi pula di daerah lain. Aku juga khawatir jangan-jangan merebaknya korupsi, perkelahian massal, anarkisme, ricuh yang sering dipertontonkan para anggota dewan itu juga karena telah tercerabutnya kita dari akar budaya serta nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kita secara kultural menjadi ’asing’ di negeri sendiri.
Sudah saatnya kita melakukan gerakan ’sadar budaya’, salah satunya melalui Pendidikan Pelestarian Budaya agar kita, generasi penerus bangsa menjadi generasi yang memiliki jati diri, mampu ’survive’ di tengah gelombang arus globalisasi. Generasi berkarakter seperti yang terkandung dalam ’rawa mbojo’ yakni arif bijaksana, santun, jujur, tulus, dinamis, kreatif, komunikatif. Begitu juga yang termuat dalam ’mpa’a gentao’ tari gentao: cerdas, terampil, kuat, tangguh, pantang menyerah, demokratis, lentur serta yang tersimpan dari pakaian ’rimpu’ mandiri, sopan, etis dan punya nilai estetika tinggi.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/04/alunan-gendang-yang-nyaris-hilang-potret-rapuhnya-pelestarian-budaya-daerah/
Masih juga segar dalam ingatanku ketika sesekali diajak ibu ke pasar yang paling menarik perhatianku adalah cara berpakaian ibu-ibu bahkan juga gadis-gadis Bima di pasar, termasuk ibuku waktu itu. Mereka mengenakan kain sarung yang dililitkan di kepala terus sampai kebawah menutupi seluruh badan. Aku paling suka memperhatikan aneka ragam warna-warni kain sarung yang dikenakan ibu-ibu itu. Pakaian seperti itu dinamakan ’rimpu’.
Tiga khasanah budaya, kekayaan budaya yang sepuluh tahun lalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima saat ini nyaris punah. Aku masih beruntung paling tidak dalam setahun sekali Pemerintah Daerah kabupaten Bima ’berbaik hati’ menyelenggarakan pawai budaya tahunan yang diantaranya menampilkan tiga kekayaan budaya tersebut. Atraksi ’gentao’, ’rawa mbojo’, dan ’rimpu’ saat ini menjadi hal yang langka, asing di tengah masyarakatnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi salah satu teman SMA-ku ketika melihat iring-iringan dalam pawai tersebut berkomentar: ”Nurul, Nurul lihat, asyik banget tuh… orang yang lagi menari, nyanyi, pake pakaian sarung, apa itu namanya Rul?”. Sambil tersayat perasaanku aku menerangkan pada temanku satu persatu item-item budaya tersebut.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ adalah simbol jati diri orang Bima. ’rawa mbojo’, lantunan syair-syair Bima yang dikemas dalam lagu yang diiringi biola adalah pentas seni yang unik. Si penyanyi bisa semalam suntuk melantunkan lagu-lagu. Demikian pula penonton semalam suntuk menikmati lantunan lagu-lagu tersebut. Bahkan penontonpun bisa turut serta menyanyi dan berbalas lagu dengan penyanyinya. Hal yang luar biasa disini dibutuhkan kemampuan berimprofisasi si penyanyi dalam menyusun lagu-lagunya. Selain ada lagu-lagu daerah yang baku, dalam pentas ’rawa mbojo’ lagu-lagu bisa berkembang sesuai dengan keadaan saat itu. Suasana, warna pakaian, dan lain-lain menjadi obyek improfisasi penyusunan bait-bait syair lagu. Pentas ’rawa mbojo’ menjadi sangat dinamis dan kreatif. Para penikmat ’rawa mbojo’ dapat hanyut dalam gelak tawa ataupun larut dalam kesedihan sesuai kemampuan improfisasi penyanyinya. Penggesek biola juga harus orang yang benar-benar piawai, karena dia harus mampu mengiringi apapun lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi dan juga mengikuti selera penonton.
Tari gentao yang dalam bahasa Bima ‘mpa’a gentao’, merupakan atraksi tari yang diiringi alunan gendang, terompet khas Bima yang terbuat dari daun lontar dan beberapa pengakat gamelan. Tarian ini aslinya ditampilkan mengirinngi acara sunatan. Tarian ‘gentao’ juga membutuhkan improfisasi oleh pengiring, khususnya penabuh gendang dan penari. Penari gentao ini boleh siapa saja khususnya penonton. Tarian ini merupakan simbol kejantanan, keperkasaan orang Bima. Para penari melakukan tarian dengan ‘bersparing’ satu-lawan satu. Penari harus mahir dalam seni bela diri, karena tariannya adalah menggambarkan pertarungan para kesatria Bima yang tersebar di seluruh pelosok Bima. Penonton, penari, penabuh gendang dan peniup terompet meskipun mereka mungkin tidak saling mengenal bisa hanyut dalam harmoni indahnya ‘mpa’a gentao’.
‘Rimpu’ pakaian khas tradisional Bima, hanya ada di Bima dan Dompu. Pakaian yang dikenakan berupa sarung yang ditenun oleh tangan-tangan terampil wanita Bima baik yang masih gadis maupun yang telah berumah tangga. Aslinya, para wanita bima menggunakan pakaian ini untuk ke pasar, acara keluarga, menjenguk keluarga yang berduka baik sakit maupun meninggal dunia dan kegiatan-kegiatan lainnya.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’, merupakan contoh kekayaan budaya. Didalamnya mengandung kearifan lokal yang sesungguhnya bagian dari kearifan Nasional yang apabila ditelaah lebih mendalam mengandung makna yang luar biasa sebagai cerminan dinamika masyarakat dalam upaya ‘survive’ mempertahankan dirinya dalam kancah kehidupan sebagai bagian dari sebuah bangsa. ‘Rawa Mbojo’ lagu Bima didalamnya mengandung petuah, nasehat bagaimana agar tercipta harmoni dalam kehidupan. Dalam pentas ‘rawa mbojo’ juga tercipta komunikasi spotan, tulus dan apa adanya antara penyanyi dan penonton yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu adanya komunikasi yang tulus, saling menghargai, demokratis.
‘Mpa’a gentao’ merupakan tarian bela diri masyarakat, mengajarkan kepada kita bahwa sebagai individu, masyarakat harus memiliki badan, jiwa yang sehat dan kuat yang setiap saat siap membela tanah air. Namun demikian kekuatan, tidak digunakan sembarangan melainkan sesuai kebutuhan. Maka dalam ’gentao’ penari boleh siapa saja, demikian pula lawan tanding tidak ditentukan. Satu hal yang perlu diperhatikan si penari bahwa dalam bertanding harus mengikuti iringan musik, gendang yang menyertainya dan tidak boleh mencederai lawan. Akhir dari ’gentao’ ini adalah terciptanya komunikasi yang harmonis antar warga, antar masyarakat.
Busana tradisional ’rimpu’ dimana wanita pemakainya melilitkan sarung Bima di kepala, dan menutup seluruh anggota badan kecuali muka sampai dibawah lutut mengajarkan kepada kita bahwa dalam berbusana harus mempertimbangkan norma khususnya norma agama, estetika dan etika. ’Rimpu’ juga mengajarkan bahwa kita harus mampu mandiri, menenun pakaiannya sendiri, mencintai dan bangga hasil karya sendiri. Artinya, para pendahulu kita telah mewariskan ’rimpu’ bukan sekedar sebagai busana tetapi juga jauh depan perlu memiliki produk unggulan lokal dalam hal ini adalah tenun ikat Bima.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ dari contoh tiga item khasanah budaya diatas terdapat satu kesamaan yakni didalamnya mengandung unsur inovasi, kreativitas. Memang benar bahwa ada lagu-lagu Bima yang sudah ’baku’, tetapi masyarakat, siapa saja boleh mengarang lagu sendiri dan mendendangkannya, bahkan spontan pada saat pentas berlangsung sesuai kondisi saat itu. Artinya agar budaya tersebut bisa lestari diberi ruang gerak yang luas untuk dikembangkan oleh masyarakat sesuai jamannya. ’Gentao’ juga telah memiliki gerakan standar tertentu yang khas Bima, akan tetapi setiap saat masyarakat boleh mengembangkan, berimprovisasi dengan ’cengkok’ masing-masing sesuai jamannya. Demikian pula tenun ikat tradisional Bima memberi peluang seluas-luasnya untuk dikembangkan tanpa harus meninggalkan ciri khasnya. Sehingga kain tenun Bima terus berkembang dan dalam periode tertentu mengalami dinamika, tren yang sangat dinamis.
Persoalannya adalah mutiara-mutiara khasanah budaya tersebut saat ini nyaris punah, terlantar dan terabaikan. ’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ yang sudah tidak lagi menjadi bagian sehari-hari masyarakat Bima, karena tergusur era globalisasi dengan ndangdut, sepak bola dan pakaian ketat. Acara-acara pernikahan sudah didominasi dengan hiburan orgen tunggal. Pakaian ’rimpu’ sudah langka dikenakan oleh remaja puteri kita. Kalau hal ini ’di-cuekin’ tidak ada yang peduli maka dikhawatirkan lima sampai sepuluh tahun kedepan generasi muda Bima harus ke Taman Mini Indonesia Indah anjungan NTB untuk dapat mengenal yang namanya ’rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’.
Mumpung belum benar-benar punah, sesungguhnya masih ada waktu untuk melestarikan budaya tersebut. Menurutku hal yang paling penting adalah perlunya menumbuhkan kesadaran kepada seluruh masyarakat akan arti pentingnya budaya lokal sebagai penopang budaya Nasional. Jalan yang dapat ditempuh untuk proses penyadaran tersebut tidak ada lain kecuali melalui jalur pendidikan. Pendidikan pelestarian budaya perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Sejak dini generasi muda perlu diperkenalkan dengan kearifan budaya termasuk budaya lokal, dilanjutkan terus sampai di perguruan tinggi secara terus menerus dan berkesinambungan. Tujuannya adalah agar nilai-nilai budaya tersebut secara harmonis terinternalisasi dalam diri siswa, menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pendidikan pelestarian budaya tidak hanya dalam bentuk teori semata-mata, yang lebih penting adalah praktek. Sehingga penilaiannya bukan dari hasil ulangan saja, tetapi dari sejauh mana siswa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Aku khawatir jangan-jangan ’proses punahnya kekayaan budaya’ yang terjadi di daerahku terjadi pula di daerah lain. Aku juga khawatir jangan-jangan merebaknya korupsi, perkelahian massal, anarkisme, ricuh yang sering dipertontonkan para anggota dewan itu juga karena telah tercerabutnya kita dari akar budaya serta nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kita secara kultural menjadi ’asing’ di negeri sendiri.
Sudah saatnya kita melakukan gerakan ’sadar budaya’, salah satunya melalui Pendidikan Pelestarian Budaya agar kita, generasi penerus bangsa menjadi generasi yang memiliki jati diri, mampu ’survive’ di tengah gelombang arus globalisasi. Generasi berkarakter seperti yang terkandung dalam ’rawa mbojo’ yakni arif bijaksana, santun, jujur, tulus, dinamis, kreatif, komunikatif. Begitu juga yang termuat dalam ’mpa’a gentao’ tari gentao: cerdas, terampil, kuat, tangguh, pantang menyerah, demokratis, lentur serta yang tersimpan dari pakaian ’rimpu’ mandiri, sopan, etis dan punya nilai estetika tinggi.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/04/alunan-gendang-yang-nyaris-hilang-potret-rapuhnya-pelestarian-budaya-daerah/
Langganan:
Postingan (Atom)